BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sastra daerah merupakan benang yang menganyam sebuah konstelasi bernama sastra nusantara. Sementara itu, sastra nusantara merupakan suatu wilayah yang pernah diragukan sebagai warga sastra Indonesia karena tidak bermedia bahasa persatuan. Namun, seiring dengan lajunya waktu dan kiprah sastrawan yang mampu dalam mencipta dan menancapkan momen-momen kreatif, akhirnya kita menyadari bahwa konstelasi sejarah dan tradisi sastra Indonesia tidak pernah lepas dari warna lokal dan kedaerahan yang dimiliki oleh para sastrawannya.
Kesadaran di atas selaras dengan simpulan dari penelitian sastra nusantra dewasa ini bahwa dalam keragaman sastra nusantara itu terdapat kesamaan dan dalam kebinekaannya itu terdapat ketunggalikaan. Terlepas dari semua itu mengenai asal-usul sastra nusantara, simpulan itu dapat mengukuhkan suatu dugaan bahwa pemasyarakatan sastra daerah merupakan salah satu jalan dalam menjalin persatuan dan kesatuan bangsa. Apabila momen kreatif dan wacana sastra yang semarak itu berhasil mengangkat kedaerahan menjadi keindonesiaan atas jasa media bahasa Indonesia, tataran internal kedaerahan pun dapat melakukan modus serupa, namun dengan tujuan internal pula, yaitu pemasyarakatan sastra daerah dengan menggunakan bahasa Indonesia sehingga membawa manfaat bagi daerah itu sendiri.
Manfaat tersebut dapat dihubungkan dengan pelestarian khazanah budaya daerah dan dapat juga dikaitkan dengan sumber daya penguatan otonomi daerah. Misalnya, cerita legenda Situ Bagendit tidak dapat disangkal lagi merupakan karya sastra daerah Sunda atau Jawa Barat yang sudah menasional dan abadi karena sudah ditranformasi ke dalam bahasa Indonesia. Selain adanya transformasi dari bahasa ke bahasa, begitu pula adanya proses penyampaian cerita atau transmisi dari generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya dapat memengaruhi khazanah sastra Indonesia. Kita pun tidak dapat memungkiri bahwa legenda seperti itu pun turut andil dalam mengundang wisatawan domestik dan mancanagara untuk menyinggahi daerah wisata yang ada di Jawa Barat, khususnya Situ Bagendit.
Legenda merupakan bagian dari khazanah sastra nusantara. Oleh sebab itu, sebagai bagian dari sastra nusantara, legenda merupakan bagian dari komunitas sastra yang memiliki sifat multikultural dari segi bahasa (bahasa-bahasa daerah), perkembangan (lama-baru), media (lisan-tertulis), kontak agama (Buddha, Hindu, Nasrani, dan Islam), dan kontak budaya (India, Cina, Eropa, dan Arab ) yang berakibat adanya keragaman dan kesamaan.
Keragaman legenda nusantara dapat dilihat dari segi bahasa, isi, bentuk, jenis tuturan, penyajian, konteks, pengalaman komunitasnya, kontak agama, dan kontak budaya. Sementara itu kesamaan tampak pula karena bawaan yang sama (bahasa serumpun dan asal-usul etnis dan budaya yang sama), pengaruh luar yang terintegrasi, kontak dengan sesama tradisi lisan nusantara, dan kontak dengan budaya asing yang sama. Berkaitan dengan hal tersebut maka diperlukan adanya proses transimisi, agar kemurnian cerita tersebut tetap ada dan utuh.
Proses transimisi ini pula akan dijadikan sebagai acuan oleh para pendidik, khusunya guru bahasa Indonesia, karena proses ini berkaitan dengan penyampaian sesuatu hal atau cerita dari generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya. Maka proses transmisi ini sangat diperlukan ketika guru mempelajari suatu cerita kepada anak didiknya, agar budaya yang terkandung tidak punah dan tetap dilestarikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, kini penyusun dapat merumuskan masalah penulisan makalah ini ke dalam dua pertanyaan sebagai berikut.
1. Bagaimana terjadinya proses transmisi Legenda Situ Bagendit dan pembelajaran yang terjadi di Sekolah ?
2. Nilai-nilai moral apa saja yang terkandung dalam Legenda Situ Bagendit ?
1.3 Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh :
1. Gambaran mengenai proses transmisi dalam Legenda Situ bangendit dan pembelajaran yang dilakukan pendidik di sekolah melalui metode berkisah.
2. Memberikan pengetahuan berupa nasihat dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam Legenda Situ Bagendit.
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan masukan baru bagi pengembangan studi sastra dan pembelajaran sastra di Sekolah. Pengembangan studi sastra berkaitan dengan klasifikasi genre dan subgenre teks sastra Indonesia yang bersumber pada legenda yang berada di nusantara. Sementara itu, dalam hubungannya dengan pembelajaran sastra di Sekolah, makalah ini merupakan upaya konkret dalam meningkatkan kualitas pengajaran sastra, yaitu dengan menyusun model pembelajaran yang relevan dan tepat.
1.5 Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu dengan mendeskripsikan dan menganalisis Legenda Situ Bagendit dan terjadinya proses transmisi dalam perspektif pendidikan. Begitu pula penulisan makalah ini bertumpu pada sumber-sumber tertulis dan menggunakan metode pustaka. Mengumpulkan informasi dan data-data dari referensi buku dan internet. Oleh sebab itu, agar data didapatkan secara optimal, penulisan makalah ini akan menggunakan studi pustaka.
BAB 2
PEMBAHASAN
Legenda merupakan dongeng yang berhubungan dengan keajaiban-keajaiban alam, misalnya tentang terjadinya suatu tempat, gunung, sungai, danau, dan sebagainya. Legenda pada dasarnya memiliki suatu kekuatan yang membuat masyarakat pemilik cerita berada dalam tatanan dunia dan kehidupan yang unik dalam latar sosiokultural setempat. Tradisi lisan pada saat ini menghadapi tantangan dalam budaya teks dan budaya audio visual yang modern dan canggih. Tantangan itu menjadi peringatan untuk melakukan inovasi dan kreasi terhadap legenda. Legenda yang lahir dan tumbuh pada saat ini mungkin belum bernasib baik dengan berbagai alasan dan kondisi. Legenda hanya sekedar eksis dalam kelompok-kelompok kecil yang masih sanggup untuk menuturkan atau mengisahkan dalam bentuk lisan. Eksistensi legenda pun mulai menemukan peralihan bentuk dalam tulisan (buku) dengan hasil apresiasi yang berbeda daripada ketika dilisankan. Argumentasi dari peralihan bentuk itu adalah buku bisa menjadi alat dokumentasi sebelum legenda kehilangan rakyat penutur dan pendengar. Kehadiran buku-buku legenda mungkin jadi alternatif untuk transformasi pengetahuan historis dan sosiokultural dalam masyarakat.
Legenda yang semula tumbuh dalam tradisi lisan memiliki ruang dan kepemilikan kolektif. Perubahan zaman menyebabkan kepemilikan kolektif berkurang dan mengecil karena semakin berkembangnya cerita-cerita modern. Anak-anak dalam tataran masyarakat modern justru menunjukkan ketertarikan kuat dan cenderung akrab dengan cerita-cerita modern dalam bentuk komik atau film. Legenda yang dulu lahir dan tumbuh dalam masyarakat sendiri perlahan hilang atau dilupakan karena tak ada pola pewarisan yang efektif dan kreatif. Pola kreatif yang terasa kurang adalah perhatian dari orang tua untuk mendongeng atau bercerita pada anak. Kelemahan untuk mengapresiasi legenda juga muncul di institusi pendidikan yang memainkan fungsi strategis dalam transformasi ilmu dan pengetahuan. Siswa di sekolah atau mahasiswa kurang tertarik terhadap legenda karena berbagai alasan dan faktor.
Masyarakat yang tidak tahu atau lupa atas legendanya sendiri tentu menjadi fenomena yang memprihatinkan. Tragedi kultural itu tidak bisa dipisahkan dari arus modernitas. Masyarakat berhak memiliki berbagai pendapat dan pemikiran melalui legenda. Menikmati hidup dan menjalankan nilai-nilai kemodernan adalah bentuk pilihan-pilihan yang cenderung dipercayai banyak orang. Legenda barangkali sekadar dianggap sebagai mitos lama, khayalan, fantasi, atau dongeng yang ketinggalan zaman.
Keberadaan legenda adalah bukti dinamisasi peradaban manusia dalam rekonstruksi masa lalu dan pembayangan masa depan. Apresiasi terhadap legenda menjadi bekal untuk transformasi sosiokultural yang berasal dari sisi internal masyarakat. Legenda juga berhak mengalami transformasi bentuk dan tafsiran nilai sesuai dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. Dengan adanya pengaruh dari cerita-cerita modern yang menyebabkan hilangnya legenda maka perlu adanya transmisi cerita dari generasi sebelumnya ke generasi yang selanjutnya, sehingga legenda itu tetap dikenal dan dilestarikan.
Generasi sebelumnya mewariskan pengalaman masa lalu serta pengalaman hidup sehari-hari yang terkait dengan adat istiadat, kepercayaan, nilai moral pada generasi yang akan datang melalui tradisi lisan. Tradisi lisan mengandung kejadian-kejadian sejarah, nilai-nilai moral, keagamaan, adat istiadat, cerita khayalan, peribahasa, lagu dan mantra, serta petuah leluhur.
Proses pewarisan kebudayaan pada masyarakat yang sebelum mengenal tulisan dilakukan melalui keluarga dan masyarakat atau orang lain disekitarnya.
a. Keluarga
Pengenalan dilakukan dari hal-hal sederhana yang mudah dipahami seperti:
§ Aspek-aspek material (benda buatan manusia yang dapat diraba dan dilihat)
§ Hingga proses pengenalan yang lebih rumit yaitu kebudayaan non material (kepercayaan, nilai, norma, dan bahasa).
Pewarisan tersebut dilakukan dengan cara sosialisasi adat istiadat/kebiasaan baik secara:
§ Langsung (secara lisan diberitahukan mengenai tradisi dan adat istiadat yang berlaku)
§ Tidak langsung (dengan memberi contoh dalam hal perilaku sehari-hari).
§ Selain disampaikan secara lisan, juga dilakukan melalui cerita atau dongeng (sebab dalam dongeng disisipkan pesan-pesan mengenai nilai-nilai atau sesuatu yang dipandang baik untuk dilakukan maupun mengenai sesuatu yang dipandang tidak boleh dilakukan.
b. Masyarakat
Masyarakat merupakan sekelompok orang yang memiliki kesamaan budaya, wilayah identitas, dan berinteraksi dalam suatu hubungan sosial yang terstruktur.
Masyarakat mewariskan masa lalunya melalui:
§ Tradisi dan adat istiadat (nilai, norma yang mengatur perilaku dan hubungan antar individu dalam kelompok).
Adat istiadat yang berkembang di suatu masyarakat harus dipatuhi oleh anggota masyarakat di daerah tersebut. Adat istiadat sebagai sarana mewariskan masa lalu terkadang yang disampaikan tidak sama persis dengan yang terjadi di masa lalu tetapi mengalami berbagai perubahan sesuai perkembangan zaman. Masa lalu sebagai dasar untuk terus dikembangkan dan diperbaharui.
§ Nasihat dari para leluhur, dilestarikan dengan cara menjaga nasihat tersebut melalui ingatan kolektif anggota masyarakat dan kemudian disampaikan secara lisan turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
2.1 Analisis Transmisi Teks
Proses transmisi yang akan dipaparkan adalah proses transmisi teks sastra atau cerita dari guru sebagai sumber pengetahuan dari generasi tua kepada murid-muridnya sebagai generasi muda atau generasi selanjutnya. Salah satu teks sastra yang akan ditransmisi adalah legenda. Legenda adalah prosa rakyat yang dianggap oleh yang punya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Legenda bersifat sekuler (keduniawian) terjadi pada masa yang belum begitu lampau dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Selain itu legenda juga ditokohi oleh manusia, meskipun ada kalanya mempunyai sifat luar biasa, dan seringkali dibantu mahkluk-mahkluk gaib.
Legenda sering dianggap sebagai “sejarah” kolektif (folk history). Meskipun dianggap sebagai sejarah tetapi kisahnya tidak tertulis maka legenda dapat mengalami distorsi sehingga seringkali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Untuk menjadikan legenda sebagai sumber sejarah maka harus menghilangkan bagian-bagian yang mengandung sifat-sifat folklor, seperti bersifat pralogis (tidak termasuk dalam logika) dan rumus-rumus tradisi. Legenda diwariskan secara turun temurun, biasanya berisi petuah atau petunjuk mengenai yang benar dan yang salah. Dalam legenda dimunculkan pula berbagai sifat dan karakter manusia dalam menjalani kehidupannya yaitu sifat yang baik dan yang buruk, sifat yang benar dan yang salah untuk selanjutnya dijadikan pedoman bagi generasi selanjutnya. Legenda yang diambil adalah Legenda Situ Bagendit.
Proses transmisi Legenda Situ Bagendit dilakukan oleh guru sebagai generasi sebelumnya kepada siswa sebagai generasi selanjutnya. Proses tersebut terjadi di dalam kelas dalam konteks pembelajaran.
Berikut Legenda Situ Bagendit.
Pada zaman dahulu kala disebelah utara kota Garut ada sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah petani. Karena tanah di desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air, maka sawah-sawah mereka selalu menghasilkan padi yang berlimpah ruah. Namun meski begitu, para penduduk di desa itu tetap miskin kekurangan.
Hari masih sedikit gelap dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk sudah bergegas menuju sawah mereka. Hari ini adalah hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya kepada seorang tengkulak bernama Nyai Endit.
Nyai Endit adalah orang terkaya di desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Ya! Seluruh petani. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual hasil panennya kepada Nyai Endit.Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng suruhan nyai Endit. Lalu jika pasokan padi mereka habis, mereka harus membeli dari nyai Endit dengan harga yang melambung tinggi.
“Wah kapan ya nasib kita berubah?” ujar seorang petani kepada temannya. “Tidak tahan saya hidup seperti ini. Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?”
“Sssst, jangan kenceng-kenceng atuh, nanti ada yang denger!” sahut temannya. “Kita mah harus sabar! Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka berbuat aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!”
Sementara itu Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya.
“Barja!” kata nyai Endit. “Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?” kata nyai Endit.
“Barja!” kata nyai Endit. “Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?” kata nyai Endit.
“Beres Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi! Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat lagi.”
“Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!” kata Nyai Endit.
Benar saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita kelaparan. Sementara Nyai Endit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di rumahnya.
“Aduh pak, persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke Nyai Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang lima kali lipat disbanding saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang kami pikul.”
Begitulah gerutuan para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.
Suatu siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh iba.
“Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.
Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.
“Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.
“Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.
“Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi tersebut
“Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek
“Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek
“Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyi Endit?”
“Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.
“Ah percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.
“Tidak perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
“Tidak perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
“Nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”
“Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik kalian,” kata si nenek.
Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Sementara itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit dan langsung dihadang oleh para centeng.
“Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak kakimu!” bentak centeng.
“Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.
“Apa peduliku,” bentak centeng. “Emangnya aku bapakmu? Kalau mau makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”
Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya. “Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Endiiiit…!” teriak si nenek.
Centeng- centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.
“Siapa sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang makan saja!”
“Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?” bentak Nyai Endit.
“Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?” bentak Nyai Endit.
“Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,” kata nenek.
“Lah..ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat nyium baumu,” kata Nyai Endit.
Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.
“Hei Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rijki berlimpah tapi kau tidak bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur-hamburkan makanan” teriak si nenek berapi-api. “Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”
“Ha ha ha … Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.
“Tidak perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.”
“Ha ha ha … Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.
“Tidak perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.”
“Dasar nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai Endit sombong.
Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.
“Sialan!” kata Nyai Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!”
Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
“Ha ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”
Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.
“Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”
Setelah berkata demikian si nenek tiba-tiba menghilang entah kemana. Tinggal Nyai Endit yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta hartanya.
Di desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil yang indah. Orang menamakannya ‘Situ Bagendit’. Situ artinya danau dan Bagendit berasal dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Legenda Situ Bagendit diantaranya adanya ajaran moral bahwa memberi kepada yang membutuhkan atau fakir miskin itu merupakan keniscayaan, perbuatan yang tidak baik akan dibalas dengan hukuman yang setimpal, bersyukur kepada tuhan YME atas nikmat yang diberikan agar terhindar dari sifat kikir, tamak, dan sombong.
Legenda Situ Bagendit merupakan Legenda yang sangat unik. Banyak pesan moral yang dapat diambil dan dijadikan pelajaran hidup bagi generasi selanjutnya. Oleh karena itu, Legenda Situ Bagendit sering kali ditransmisikan baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan keluarga.
Tujuan dari transmisi Legenda Situ Bagendit yaitu agar seorang anak dapat membentuk kepribadiannya secara positif dan menentang kekikiran Nyi Endit sehingga menyebabkan ia dan kekayaannya ditenggelamkan oleh air. Cerita legenda tersebut dahulu kerap diceritakan orang tua kepada anak-anaknya namun karena adanya pergeseran budaya maka saat ini cerita rakyat dan legenda lebih sering disampaikan di lingkungan sekolah. Legenda tersebut disampaikan untuk menjadi suri tauladan, agar anak-anak kelak menjadi orang yang selalu rendah hati dan mau berbagi kepada si miskin.
Selain itu, Legenda Situ Bagendit juga dapat mengasah imajinasi dan alat pembuka bagi cakrawala pemahaman seorang anak. Ia akan belajar pada pengalaman-pengalaman sang tokoh dalam Legenda tersebut, setelah itu memilah mana yang dapat dijadikan panutan olehnya sehingga membentuknya menjadi moralitas yang dipegang sampai dewasa. Karena itulah, peran pendongeng baik guru ataupun orang tua dalam menjelaskan atau merangkum seluruh kisah dalam cerita kepada anak-anak mesti menjadi seorang penjelas yang pasih. Sehingga seorang anak akan mengerti intisari dari cerita yang didongengkan tersebut.
Dalam perspektif pendidikan, proses transmisi Legenda Situ Bagendit dapat dilakukan dengan menggunakan metode berkisah dan metode tanya jawab. Metode berkisah digunakan untuk menyampaikan Legenda Situ Bagendit kepada siswa. Metode berkisah diberikan oleh bapak atau ibu guru di depan kelas. Secara lisan metode berkisah dapat disampaikan selama 10 sampai 15 menit untuk menarik perhatian siswa. Metode berkisah ini tidak sama dengan metode berceramah, kisah tidak semata-mata disampaikan monoton dengan narasi, tetapi perlu selingan dan dialog dan humor dengan suara yang berubah-ubah. Ibarat seorang dalang atau pemain drama monolog, seorang guru yang berkisah akan menarik perhatian siswa. Kemudian siswa dibimbing menyampaikan kembali Legenda Situ Bagendit selama 5 hingga 10 menit di depan kelas. Di sini siswa dilatih mengisahkan kembali cerita-cerita yang baru saja dibacanya dengan gaya penyampaian dan pemilihan kata-katanya sendiri.
Setelah dilakukan metode berkisah, guru dapat menggunakan metode tanya jawab. Artinya, pertanyaan baru dapat diajukan oleh seorang guru kepada siswanya setelah siswa itu menyimak dan memahami cerita tersebut. Pertanyaan dapat diajukan dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Perlu diperhatikan pula keadaan kelas dan tingkat kecerdasan siswa agar tanya jawab itu dapat berlangsung dengan lancar. Hal-hal yang dipertanyakan, misalnya sapa saja tokoh dalam cerita? Darimana asal usul tokoh itu? Bagaimana perwatakan setiap tokoh? Nilai moral yang terkandung dalam Legenda tersebut? Jawaban siswa atas pertanyaan yang satu dapat dikembangkan lebih lanjut dengan pertanyaan lain atau dilemparkan pada siswa lainnya. Apabila memungkinkan, siswa di minta untuk membuat pertanyaan dan siswa yang lainnya dapat memberikan jawaban.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah melakukan analisis dan pembahasan, sampailah penyusun pada bagian akhir penulisan ini, yaitu memberi kesimpulan. Simpulan akan dijelaskan pada gambaran mengenai proses tansimisi dalam Legenda Situ Bagendit yang dilakukan pendidik di dalam kelas. Penulisan ini telah mengkaji dan menganalisis teks sastra cerita rakyat Legenda Situ Bagendit. Teks tersebut dikaji dan dianalisis berdasarkan proses yang terjadi di kelas dengan melakukan proses transmisi untuk menyampaikan cerita tersebut kepada anak didik.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Legenda Situ Bagendit diantaranya adanya ajaran moral bahwa memberi kepada yang membutuhkan atau fakir miskin itu merupakan keniscayaan, perbuatan yang tidak baik akan dibalas dengan hukuman yang setimpal, bersyukur kepada Tuhan YME atas nikmat yang diberikan agar terhindar dari sifat kikir, tamak, dan sombong.
Legenda Situ Bagendit, tokoh yang ada dalam cerita ini sangat fenomenal sehingga tokoh ini akan dikenal oleh pembaca. Tokoh Nyi Endit merupakan seorang yang mempunyai harta melimpah tetapi dia mempunyai sifat kikir, tamak, dan sombong. Sehingga dengan sifat-sifatnya itu menyebabkan ia dan kekayaannya ditenggelamkan oleh air.
Selain itu, simpulan yang bisa ditarik adalah proses pembelajaran yang terjadi di kelas ketika seorang guru mentransmisi Legenda Situ Bagendit. Proses transmisi Legenda Situ Bagendit dilakukan dengan menggunakan metode berkisah dan metode tanya jawab. Metode berkisah digunakan untuk menyampaikan Legenda Situ Bagendit kepada siswa. Metode berkisah diberikan oleh bapak atau ibu guru di depan kelas. Secara lisan metode berkisah dapat disampaikan selama 10 sampai 15 menit untuk menarik perhatian siswa.
Setelah itu siswa diminta untuk menerangkan kembali cerita tersebut dengan menggunakan kata-kata sendiri. Selain itu, pendidik menggunakan metode tanya jawab agar guru dapat mengetahui pemahaman, sampai mana anak memahami suatu cerita dengan metode berkisah. Maka, proses pembelajaran ini dapat dilakukan di sekolah oleh para pendidik, agar proses pembelajaran di sekolah jadi lebih kreatif dan inovatif. Maka, pembelajaran sastra dengan menggunakan metode berkisah dan tanya jawab bisa membuat siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran.
3.2 Saran
Seharusnya cerita rakyat yang mengandung nilai-nilai moral lebih dijadikan bahan pembelajaran untuk siswa agar siswa dapat membentuk kepribadian sejak dini dengan baik, hal ini dilakukan untuk melestarikan kebudayaan leluhur.
DAFTAR PUSTAKA
Austin Waren, & Rene Wellek. 1989. Teori Kesusastraan. (Editor Melani Budianta) Jakarta: Gramedia.
Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta : Balai Pustaka.
Supinah, Pien, Dra. 1993. Pendekatan Teori Sejarah dan Apresiasi Sastra Indonesia. Bandung : CV Pionir Jaya.
www.dongengkakrico.com/index.php.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar