Sabtu, 19 Maret 2011

KEDWIBAHASAAN DI KECAMATAN LABUAN

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Provinsi Banten memiliki luas wilayah 9.160,70 km², luas wilayah tersebut terbagi kepada empat kabupaten dua kotamadya. Masing-masing kabupaten tersebut adalah Kabupaten Serang sebagai ibukota Provinsi Banten, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tanggerang, dan Kabupaten Lebak. Sedangkan dua Kotamadya adalah Kotamadya Cilegon dan Kotamadya Tanggerang.
Salah satu Kabupaten yang terkenal dari provinsi Banten adalah Kabupaten Pandeglang dengan ibukota bernama sama yakni Pandeglang. Luas wilayah Kabupaten Pandeglang 2.747 km² dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Serang di sebelah Utara dan Kabupaten Lebak di sebelah Timur.
Kabupaten Pandeglang merupakan satu dari wilayah provinsi Banten yang sarat dengan tujuan Objek Wisata. Di Kabupaten ini banyak terdapat pulau-pulau kecil seperti Pulau Deli, Pulau Tinjil, sementara objek wisata yang paling terkenal di daerah ini adalah Taman Nasional Ujung Kulon yang merupakan suaka marga satwa bagi Badak Bercula Satu yang kini hampir punah, Taman Wisata Alam Carita, dan beberapa pantai seperti Pantai Carita, Pantai Tanjung Lesung juga terkenal dengan air terjunnya yang jernih yakni Air Terjun Curug Gendang.
Dua kota yang menjadi pusat perekonomian Kabupaten Pandeglang yaitu kota Pandeglang dan kota Labuan. Kota tersebut menjadi tujuan utama para pendatang untuk berniaga. Dari kegiatan berniaga inilah menimbulkan kontak bahasa antara pendatang dan penduduk asli sehingga terjadi peristiwa-peristiwa kebahasaan, salah satunya yaitu kedwibahasaan. Oleh karena itu penyusun memilih Kecamatan Labuan sebagai objek penelitian mengenai kedwibahasaan pada masyarakat Labuan.

1.2  Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) bagaimana situasi kebahasaan masyarakat Labuan?
      (2) bagaimana faktor sosial budaya menentukan pemilihan bahasa dalam berbagai peristiwa tutur pada masyarakat Labuan?

1.3  Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut
(1)   mengetahui situasi kebahasaan masyarakat Labuan,
(2)   mengetahui faktor-faktor sosial budaya yang menentukan pemilihan bahasa dalam berbagai peristiwa tutur pada masyarakat Labuan.

1.4  Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah observasi dan studi pustaka. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan penyajian hasil analisis data.


BAB 2
LANDASAN TEORI


2.1  Arti Kedwibahasaan
Istilah bilingualisme berasal dari bahasa Inggris yaitu bilingualism, dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum kedwibahasaan diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannnya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73 dalam Chaer 2004:84).
 Sementara itu pengertian kedwibahasan menurut para ahli yaitu:
1.      Robert Lado (1964-214)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana tingkatnya oleh seseorang.
2.      Mackey (1956:155)
Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Merumuskan kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the alternative use of two or more languages by the same individual). Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
3.      Hartman dan Stork (1972:27)
Kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran.
4.      Haugen (1968:10)
Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau oleh masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.
5.      Oksaar
Berpendapat bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu, namun harus diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya masyarakat dwibahasawan. Hal ini terlihat di Belgia menetapkan bahasa Belanda dan Perancis sebagai bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia. Di Montreal Kanada, bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh warganya, sehingga warga montreal dianggap sebagai masyarakat dwibahasawan murni.
6.      Bloomfield (1958:56)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama baiknya atas dua bahasa atau native like control of two languages. Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.

Kalau kita perhatikan pengertian kedwibahasaan di atas, kita akan melihat adanya perbedaan antara yang diberikan oleh Bloomfield dan oleh yang lainnya. Kedwibahasaan dibatasi oleh Bloomfield sebagai penggunaan dua bahasa yang sama baiknya antara bahasa ibu (asli) dan bahasa kedua. Dengan demikian, pengertian kedwibahasaan semacam ini menyaran pada kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penggunaan bahasa oleh penutur asli dari setiap bahasa itu.

2.2 Pembagian Kedwibahasaan
Adapun beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu :
1.      Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri.
2.   Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
3.   Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.
Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi kdwibahasaan diantaranya adalah:
·         Baeten Beardsmore (1985:22)
Menambahkan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2.
·         Menurut Pohl (dalam Baetens Beardmore, 1985;5)
Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada di dalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu:
a.       Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)
Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
b.                  Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism)
Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
c.       Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
·         Menurut Arsenan (dalam Baerdsmore, 1985)
Tipe kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa, maka ia mengklasifikasikan kedwibahasaan menjadi dua yaitu:
Ø  kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis),
Ø  kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism).

2.3 Dwibahasawan
Sama halnya dengan kedwibahasaan, konsep dwibahasawan juga mengalami perluasan. Weienriech memberikan batasan dwibahasawan sebagai orang yang terlibat dalam praktek penggunaan dua bahasa secara bergantian (1968:1). Kalau dikatakan bahwa bahasa-bahasa disebut dalam kontak bila bahasa-bahasa itu digunakan oleh dwibahasawan secara bergantian, maka sebenarnya kurang memadai pengertiannya. Hal ini karena, menurut Haugen, bahasa-bahasa itu tidak harus digunakan secara nyata oleh dwibahasawan melainkan hanya cukup diketahui saja. Namun demikian, dia menyarankan bahwa dwibahasawan yang ideal adalah seseorang yang mengetahui lebih dari satu bahasa yang mampu menginternalisasikan atau membiasakan pola-pola produktif (aturan tata bahasa) dan unsur leksikal dari dua speech communities (Fishman, ed., 1972:20).
Dwibahasawan lebih jauh dibatasi sebagai orang yang memiliki kemampuan bahasa yang berbeda-beda (Fishman, ed., 1972:555). Hal ini didukung oleh pernyataan Haugen bahwa dwibahasawan itu bukanlah ekabahasawan atau monolingual walaupun tidak ditetapkan seberapa jauh seseorang itu memerlukan pengetahuan bahasa kedua sebelum disebut dwibahasawan. Kemudian, dia menyarankan bahwa kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa kedua harus menjadi syarat terendah, atau paling tidak, memahami kalimat-kalimat bahasa kedua itu. Istilah kedwibahasawan menyaran juga pada orang yang mengetahui lebih dari satu bahasa, yang biasa dikenal dengan istilah multibahasawan atau ploligot (Fishman, ed., 1978:4).
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa konsep kedwibahasaan telah mengalami perluasan. Hal ini terlihat pada pernyataan Mackey, bahwa kedwibahasaan itu melibatkan tingkatan. Tingkatan dimaksudkan untuk membedakan kemampuan seseorang dalam penguasaannya terhadap bahasa kedua. Tingkatan kemampuan itu dapat dilihat pada penguasaan dwibahasawan dalam hal fonologi, tata bahasa (grammar), segi leksikal, semantik dan gaya bahasa (stylistic) yang terlihat dalam empat keterampilan (skill) bahasa, yaitu: menyimak (listening), membaca (reading), berbicara (speaking), dan menulis (writing) (Fishman, ed., 1972:556-557). Pengertian kemampuan berbahasa itu juga mengacu pada kemampuan aktif dan pasif. Ini berarti bahwa dwibahasawan tidak harus menguasai bahasa keduanya secara aktif, tetapi dapat juga secara pasif. Seseorang yang memiliki ‘kemampuan pasif bahasa tulis’ dalam bahasa kedua dapat juga disebut dwibahasawan (Fishman, ed., 1972:555).


BAB 3
PEMBAHASAN

Pada mulanya Provinsi Banten merupakan daerah karesidenan dari provinsi Jawa Barat yang beribukota Kota Bandung. Karena pemekaran dan atas UU No.23 Banten telah resmi menjadi provinsi baru di Indonesia yakni provinsi ke-30 pada tanggal 18 November 2000 dengan ibukota Kota Serang.
Kabupaten Banten memiliki daerah berdataran tinggi, rendah, daerah pantai serta daerah rawa-rawa. Mayoritas penduduk Banten beragama Islam meskipun berbeda-beda suku di antaranya ada Suku Banten, Suku Sunda, Suku Betawi, dan Suku Baduy dan bahasa yang digunakan di antaranya adalah bahasa Sunda-Banten dan bahasa Jawa-Banten adapun Suku Betawi menggunakan bahasa Melayu dengan dialek khas Suku Betawi.
Penduduk asli yang hidup di Provinsi Banten berbicara menggunakan dialek yang merupakan turunan dari bahasa Sunda Kuno. Dialek tersebut dikelompokkan sebagai bahasa kasar dalam bahasa Sunda modern, yang memiliki beberapa tingkatan dari tingkat halus sampai tingkat kasar (informal), yang pertama tercipta pada masa Kesultanan Mataram menguasai Priangan (bagian tenggara Provinsi Jawa Barat). Namun demikian, di Wilayah Banten Selatan Seperti Lebak dan Pandeglang menggunakan Bahasa Sunda Campuran Sunda Kuno, Sunda Modern dan Bahasa Indonesia, di Serang dan Cilegon, bahasa Jawa Banten digunakan oleh etnik Jawa dan, di bagian utara Kota Tangerang, bahasa Indonesia dengan dialek Betawi juga digunakan oleh pendatang beretnis Betawi. Di samping bahasa Sunda, bahasa Jawa dan dialek Betawi, bahasa Indonesia juga digunakan terutama oleh pendatang dari bagian lain Indonesia.
Labuan adalah satu kecamatan di kabupaten Pandeglang, provinsi banten. Kecamatan Labuan dikenal dengan perikanannya. Labuan ditetapkan sebagai sentral perikanan laut di pesisir barat Banten. Sarana penunjang untuk kegiatan perikanan diantaranya zona pelabuhan yang terdiri dari dermaga, tempat pelelangan ikan, depot es, SPBU, dan lain-lain. Dalam laporan ini kami lebih menitikberatkan permasalahan mengenai kedwibahasaan masyarakat Labuan. Untuk lebih jelasnya berikut uraian mengenai situasi kebahasaan masyarakat Labuan dan faktor sosial budaya yang mempengaruhi kedwibahasaan di kecamatan Labuan.
Bahasa Sunda yang berada di Kecamatan Labuan memiliki beberapa perbedaan dengan yang berada di daerah Priangan (Garut, Tasikmalaya, Bandung, dll). Mulai dari dialek pengucapannya, sampai beberapa perbedaan pada kata-katanya. Bahasa sunda di Banten juga umumnya tidak mengenal tingkatan, Bahasa sunda tersebut masih terlihat memiliki hubungan erat dengan bahasa Sunda Kuno Namun oleh mayoritas orang-orang yang berbahasa Sunda yang memiliki tingkatan, Bahasa Sunda Banten digolongkan sebagai Bahasa Sunda kasar. Pengucapan bahasa Sunda di Banten umumnya berada di daerah Selatan Banten (Kabupaten Lebak, Kab. Pandeglang). Berikut beberapa contoh perbedaannya :
Bahasa Indonesia
Bahasa Sunda
(Banten)
Bahasa Sunda
(Priangan)
Sangat
jasa
Pisan
Dia
nyana
Enjeuna
Susah
gati
Hese
Seperti
doang
Siga
Tidak
tilok
Henteu
Melihat
noong
Ningali
Makan
hakan
tuang / dahar
Kenapa
pan
Naha
Singkong
dangdeur
Sampeu
tidak mau
embung/endung
Alim
Belakang
buri
Tukang
Repot
haliwu
Rebut
Baju
Jamang
Acuk
Teman
Orok
Batur

Wilayah Kecamatan Labuan, umumnya menggunakan bahasa campuran (multibilingual) antara bahasa Sunda dan Jawa. Untuk mengetahui peristiwa kedwibahasaan di desa Teluk kecamatan Labuan kami mewawancarai beberapa penduduk sekitar dari mulai buruh, pedagang, pegawai dinas perhubungan, dan anak-anak. Pertama kami mewawancarai seorang buruh yang bernama Bapak Dahlan. Beliau berasal dari daerah Serang dan sudah lebih dari 20 tahun tinggal di desa teluk kecamatan Labuan karena mengikuti istrinya yang berasal dari daerah tersebut. Awalnya beliau sulit berkomunikasi dengan penduduk sekitar. Kesulitan tersebut dikarenakan adanya perbedaan bahasa yang digunakan di daerah asalnya dengan bahasa di tempat tinggalnya sekarang.
Ketika beliau tinggal di Serang, bahasa yang digunakan adalah bahasa sunda, namun ketika tinggal di desa teluk kecamatan Labuan, bahasa yang dominan digunakan adalah bahasa campuran sunda dan jawa. Penggabungan bahasa tersebut mengandung makna yang berbeda dengan makna aslinya atau dalam arti “sunda bukan, jawa juga bukan” menurut pak Dahlan. Salah satu contoh kata yang menarik untuk diamati dari ucapan pak Dahlan, beliau mengatakan kata “inyong” kata tersebut tidak ada dalam bahasa sunda. Menurut perkiraan beliau kata tersebut merupakan bahasa jawa yang berarti “kita”. Padahal sebenarnya dalam bahasa jawa tidak ada kata “inyong” tetapi ”enyong” yang berarti “saya”. Setelah diamati ternyata kata “enyong” dalam bahasa jawa asli merupakan bahasa jawa yang kasar. Setelah lama tinggal di Labuan pak Dahlan akhirnya dapat menguasai bahasa yang digunakan masyarakat setempat.
Kedua kami mewawancarai  dua orang pegawai dinas perhubungan yang bernama N.Antoni dan Madiyono. Mereka merupakan pendatang di sana, N.Antoni berasal dari Lampung sedangkan Madiyono berasal dari Semarang. N.Antoni sudah dua tahun bertugas di desa Teluk dan ia mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan penduduk sekitar. Meskipun bahasa yang digunakan di Lampung adalah bahasa jawa namun tetap saja ia merasa kebingungan karena bahasa jawa di desa teluk terdengar berbeda. Hal ini disebabkan karena banyaknya pendatang yang masuk ke desa Teluk. Oleh karena itu N.Antoni menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dalam kesehariannya. Selain N.Antoni, Madiyono pun mengalami banyak kesulitan dalam berkomunikasi apalagi  ia baru tiga bulan bertugas di sana. Berikut  ucapan yang dicontohkan oleh mereka mengenai bahasa di desa teluk:
N.Antoni         : teu nyaho aing!
                          Saya tidak tahu!
Madiyono        : aing mau dahar!
                          Saya ingin makan!
Tuturan pertama (N.Antoni) di atas merupakan bahasa sunda kasar dan dianggap tidak sopan apabila diucapkan di daerah priangan, akan tetapi di desa Teluk tuturan tersebut dianggap biasa saja dan digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Tuturan kedua (Madiyono) merupakan campuran bahasa Indonesia (mau), sunda (aing, dahar). Menurut Madiyono yang berasal dari Semarang kata “dahar” merupakan bahasa jawa yang halus padahal dalam bahasa sunda kata “dahar” tidak pantas diucapkan karena bahasa yang kasar. Berdasarkan pembagian kedwibahasaan peristiwa yang terjadi pada N. Antoni merupakan kedwibahasaan majemuk, sedangkan pada Madiyono merupakan kedwibahasaan kompleks.
Kedwibahasaan yang terjadi pada masyarakat Labuan disebabkan oleh  banyaknya pendatang baru yang masuk ke daerah Labuan, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Enok, seorang pedagang kue balok yang sudah sekitar tujuh tahun menjajakan dagangannya di desa teluk kecamatan Labuan. Beliau bukan penduduk asli desa Teluk dan beliau pun mengatakan bahwa sudah hampir seluruh penduduk di desa Teluk merupakan para pendatang yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Bahkan, di sana terdapat beberapa bahasa melayu karena ada pendatang yang berasal dari daerah Bugis.
Pada wawancara terakhir, kami mencoba untuk bertanya kepada anak-anak yang tinggal di daerah desa Teluk tersebut. Pada umumnya, mereka mengaku bahwa mereka menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa sehari-harinya, tetapi apabila di sekolah, mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena bahasa sunda yang lebih dominan digunakan ketika berkomunikasi di lingkungan sekitar rumah dan lingkungan bermain. Tetapi di sekolah, mereka diharuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional.
Penelitian yang kami lakukan kemudian berlanjut ke daerah sekitar Pantai Carita. Kami tidak melakukan wawancara di sana, tetapi kami hanya mengamati bahasa yang mereka gunakan ketika sedang melakukan transaksi jual-beli. Kami mendengar dialek yang mereka gunakan adalah dialek Jawa. Tetapi ada juga yang menggunakan dialek Jawa Cirebon. Selain itu kami menemukan peristiwa kedwibahasaan kompleks karena mereka sering mencampuradukan bahasa yang mereka gunakan. Contohnya yaitu:
Penjual baju 1 : ada berapa baju ?
Penjual baju 2 : (sambil menghitung) ……, enam belas,  pitulas
                                                            ……., enam belas, tujuh belas
Pada kutipan percakapan di atas, penjual baju 2 mencampurkan dua bahasa, yaitu Bahasa Indonesia (enam belas) dan Bahasa Jawa (pitulas). Sehingga penjual baju tersebut mengalami peristiwa kedwibahasaan kompleks


BAB 3
PENUTUP

Setelah melakukan penelitian dan pembahasan, sampailah penyusun pada bagian akhir penulisan ini, yaitu memberi kesimpulan. Simpulan akan dijelaskan pada gambaran situasi kebahasaan masyarakat Labuan dan penjelasan mengenai faktor sosial budaya  yang mempengaruhi kedwibahasaan di kecamatan Labuan.
Simpulan pertama tentang situasi kedwibahasaan masyarakat Labuan terlihat pada bahasa yang mereka gunakan yaitu bahasa Indonesia, sunda, jawa, dan bugis. Bahasa yang digunakan masyarakat Labuan mayoritas bahasa sunda, karena mayoritas masyarakat di sana penduduk asli Labuan. Bahasa sunda di Banten juga umumnya tidak mengenal tingkatan, Bahasa sunda tersebut masih terlihat memiliki hubungan erat dengan bahasa Sunda Kuno. Namun oleh mayoritas orang-orang yang berbahasa Sunda yang memiliki tingkatan, Bahasa Sunda Banten digolongkan sebagai Bahasa Sunda kasar. Sedangkan bahasa Indonesia, jawa, dan bugis digunakan oleh pendatang baru.
Dalam penelitian ini, penyusun menyimpulkan bahwa di Kabupaten Labuan, masyarakatnya menggunakan bahasa campuran (multibilingual) antara bahasa Sunda dan Jawa. Adapula yang menggunakan campuran antara bahasa Indonesia dan jawa. Selain di desa Teluk, penyusun menggunakan penelitian di pantai Carita. Bahasa yang digunakan mayoritas adalah bahasa jawa, jika ada yang menggunkan bahasa sunda, yang digunakan adalah bahasa sunda kasar. Dari bahasa yang digunakan berbeda, dialek yang digunakan pun berbeda juga. Seperti, sebagian masyarakat yang menggunakan dialek Jawa Cirebon. 
Selanjutnya simpulan yang kedua tentang faktor sosial dan budaya kedwibahasaan yang terjadi pada masyarakat Labuan. Faktor tersebut disebabkan oleh  banyaknya pendatang baru yang masuk ke daerah Labuan. Dilihat dari faktor sosial, adanya kontak bahasa yang dilakukan dengan masyarakat sekitar dengan pendatang baru. Kemudian faktor budaya, terlihat dari kebiasaan masyarakat dalam berkomunikasi menggunakan bahasa campuran sunda dan jawa. Maka, dari dua faktor di atas dapat disimpulkan bahwa di Kabupaten Labuan terdapat kedwibahasaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar