Senin, 21 Maret 2011

TRANSMISI LEGENDA SITU BAGENDIT

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Sastra daerah merupakan benang yang menganyam sebuah konstelasi bernama sastra nusantara. Sementara itu, sastra nusantara merupakan  suatu wilayah yang pernah diragukan sebagai warga sastra Indonesia karena tidak bermedia bahasa persatuan. Namun, seiring dengan lajunya waktu dan  kiprah sastrawan yang mampu dalam mencipta dan menancapkan momen-momen kreatif, akhirnya kita menyadari bahwa konstelasi sejarah dan tradisi sastra Indonesia tidak pernah lepas dari warna lokal dan kedaerahan yang dimiliki oleh para sastrawannya. 
Kesadaran di atas selaras dengan simpulan dari penelitian sastra nusantra dewasa ini bahwa dalam keragaman sastra nusantara itu terdapat kesamaan dan dalam kebinekaannya itu terdapat ketunggalikaan. Terlepas dari semua itu mengenai asal-usul sastra nusantara, simpulan itu dapat mengukuhkan suatu dugaan bahwa pemasyarakatan sastra daerah merupakan salah satu jalan dalam menjalin persatuan dan kesatuan bangsa. Apabila momen kreatif dan wacana sastra yang semarak itu berhasil mengangkat kedaerahan menjadi keindonesiaan atas jasa media bahasa Indonesia, tataran internal kedaerahan pun dapat melakukan modus serupa, namun dengan tujuan internal pula, yaitu pemasyarakatan sastra daerah dengan menggunakan bahasa Indonesia sehingga membawa manfaat bagi daerah itu sendiri.
            Manfaat tersebut dapat dihubungkan dengan pelestarian khazanah budaya daerah dan dapat juga dikaitkan dengan sumber daya penguatan otonomi daerah. Misalnya, cerita legenda Situ Bagendit tidak dapat disangkal lagi merupakan karya sastra daerah Sunda atau Jawa Barat yang sudah menasional dan abadi karena sudah ditranformasi ke dalam bahasa Indonesia. Selain adanya transformasi dari bahasa ke bahasa, begitu pula adanya proses penyampaian cerita atau transmisi dari generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya dapat memengaruhi khazanah sastra Indonesia. Kita pun tidak dapat memungkiri bahwa legenda seperti itu pun turut andil dalam mengundang wisatawan domestik dan mancanagara untuk menyinggahi daerah wisata yang ada di Jawa Barat, khususnya Situ Bagendit.
Legenda merupakan bagian dari khazanah sastra nusantara. Oleh sebab itu, sebagai bagian dari sastra nusantara, legenda merupakan bagian dari komunitas sastra yang memiliki sifat multikultural dari segi bahasa (bahasa-bahasa daerah),  perkembangan (lama-baru), media (lisan-tertulis), kontak agama (Buddha, Hindu, Nasrani, dan Islam), dan kontak  budaya (India, Cina, Eropa, dan Arab ) yang berakibat adanya keragaman dan kesamaan.
            Keragaman legenda nusantara dapat dilihat dari segi bahasa, isi, bentuk, jenis tuturan, penyajian, konteks, pengalaman komunitasnya, kontak agama, dan kontak budaya. Sementara itu kesamaan tampak pula karena bawaan yang sama (bahasa serumpun dan asal-usul etnis dan budaya yang sama), pengaruh luar yang terintegrasi, kontak dengan sesama tradisi lisan nusantara, dan kontak dengan budaya asing yang sama. Berkaitan dengan hal tersebut maka diperlukan adanya proses transimisi, agar kemurnian cerita tersebut tetap ada dan utuh.
Proses transimisi ini pula akan dijadikan sebagai acuan oleh para pendidik, khusunya guru bahasa Indonesia, karena proses ini berkaitan dengan penyampaian sesuatu hal atau cerita dari generasi sebelumnya ke generasi selanjutnya. Maka proses transmisi ini sangat diperlukan ketika guru mempelajari suatu cerita kepada anak didiknya, agar budaya yang terkandung tidak punah dan tetap dilestarikan. 

1.2   Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, kini penyusun dapat merumuskan masalah penulisan makalah ini ke dalam dua pertanyaan sebagai berikut.
1. Bagaimana terjadinya proses transmisi Legenda Situ Bagendit dan pembelajaran yang terjadi di Sekolah ?
2. Nilai-nilai moral apa saja yang terkandung dalam Legenda Situ Bagendit ?

1.3  Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh :
1.      Gambaran mengenai proses transmisi dalam Legenda Situ bangendit dan pembelajaran yang dilakukan  pendidik di sekolah melalui metode berkisah.
2.      Memberikan pengetahuan berupa nasihat dan nilai-nilai moral yang terkandung dalam Legenda Situ Bagendit.

1.4  Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat memberikan masukan baru bagi pengembangan studi sastra dan pembelajaran sastra di Sekolah. Pengembangan studi sastra berkaitan dengan klasifikasi genre dan subgenre teks sastra Indonesia yang bersumber pada legenda yang berada di nusantara. Sementara itu, dalam hubungannya dengan pembelajaran sastra di Sekolah, makalah ini merupakan upaya konkret dalam meningkatkan kualitas pengajaran sastra, yaitu dengan menyusun model pembelajaran yang relevan dan tepat.

1.5  Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu dengan mendeskripsikan dan menganalisis Legenda Situ Bagendit dan terjadinya proses transmisi dalam perspektif pendidikan. Begitu pula penulisan makalah ini bertumpu pada sumber-sumber tertulis dan menggunakan metode pustaka. Mengumpulkan informasi dan data-data dari referensi buku dan internet. Oleh sebab itu, agar data didapatkan secara optimal, penulisan makalah ini akan menggunakan studi pustaka.
  
BAB 2
PEMBAHASAN

Legenda merupakan dongeng yang berhubungan dengan keajaiban-keajaiban alam, misalnya tentang terjadinya suatu tempat, gunung, sungai, danau, dan sebagainya. Legenda pada dasarnya memiliki suatu kekuatan yang membuat masyarakat  pemilik cerita berada dalam tatanan dunia dan kehidupan yang unik dalam latar sosiokultural setempat. Tradisi lisan pada saat ini menghadapi tantangan dalam budaya teks dan budaya audio visual yang modern dan canggih. Tantangan itu menjadi peringatan untuk melakukan inovasi dan kreasi terhadap legenda. Legenda yang lahir dan tumbuh  pada saat ini mungkin belum bernasib baik dengan berbagai alasan dan kondisi. Legenda hanya sekedar eksis dalam kelompok-kelompok kecil yang masih sanggup untuk menuturkan atau mengisahkan dalam bentuk lisan. Eksistensi legenda pun mulai menemukan peralihan bentuk dalam tulisan (buku) dengan hasil apresiasi yang berbeda daripada ketika dilisankan. Argumentasi dari peralihan bentuk itu adalah buku bisa menjadi alat dokumentasi sebelum legenda kehilangan rakyat penutur dan pendengar. Kehadiran buku-buku legenda mungkin jadi alternatif untuk transformasi pengetahuan historis dan sosiokultural dalam masyarakat.
Legenda yang semula tumbuh dalam tradisi lisan memiliki ruang dan kepemilikan kolektif. Perubahan zaman menyebabkan kepemilikan kolektif  berkurang dan mengecil karena semakin berkembangnya cerita-cerita modern. Anak-anak dalam tataran masyarakat modern justru menunjukkan ketertarikan kuat dan cenderung akrab dengan cerita-cerita modern dalam bentuk komik atau film. Legenda yang dulu lahir dan tumbuh dalam masyarakat sendiri perlahan hilang atau dilupakan karena tak ada pola pewarisan yang efektif dan kreatif. Pola kreatif yang terasa kurang adalah perhatian dari orang tua untuk mendongeng atau bercerita pada anak. Kelemahan untuk mengapresiasi legenda juga muncul di institusi pendidikan yang memainkan fungsi strategis dalam transformasi ilmu dan pengetahuan. Siswa di sekolah atau mahasiswa kurang tertarik terhadap legenda karena berbagai alasan dan faktor.
Masyarakat yang tidak tahu atau lupa atas legendanya sendiri tentu menjadi fenomena yang memprihatinkan. Tragedi kultural itu tidak bisa dipisahkan dari arus modernitas. Masyarakat berhak memiliki berbagai pendapat dan pemikiran melalui legenda. Menikmati hidup dan menjalankan nilai-nilai kemodernan adalah bentuk pilihan-pilihan yang cenderung dipercayai banyak orang. Legenda barangkali sekadar dianggap sebagai mitos lama, khayalan, fantasi, atau dongeng yang ketinggalan zaman.
Keberadaan legenda adalah bukti dinamisasi peradaban manusia dalam rekonstruksi masa lalu dan pembayangan masa depan. Apresiasi terhadap legenda menjadi bekal untuk transformasi sosiokultural yang berasal dari sisi internal masyarakat. Legenda juga berhak mengalami transformasi bentuk dan tafsiran nilai sesuai dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat. Dengan adanya pengaruh dari cerita-cerita modern yang menyebabkan hilangnya legenda maka perlu adanya transmisi cerita dari generasi sebelumnya ke generasi yang selanjutnya, sehingga legenda itu tetap dikenal dan dilestarikan.
Generasi sebelumnya mewariskan pengalaman masa lalu serta pengalaman hidup sehari-hari yang terkait dengan adat istiadat, kepercayaan, nilai moral pada generasi yang akan datang melalui tradisi lisan. Tradisi lisan mengandung kejadian-kejadian sejarah, nilai-nilai moral, keagamaan, adat istiadat, cerita khayalan, peribahasa, lagu dan mantra, serta petuah leluhur.
Proses pewarisan kebudayaan pada masyarakat yang sebelum mengenal tulisan dilakukan melalui keluarga dan masyarakat atau orang lain disekitarnya.
a.   Keluarga
Pengenalan dilakukan dari hal-hal sederhana yang mudah dipahami seperti:
§  Aspek-aspek material (benda buatan manusia yang dapat diraba dan dilihat)
§  Hingga proses pengenalan yang lebih rumit yaitu kebudayaan non material (kepercayaan, nilai, norma, dan bahasa).
Pewarisan tersebut dilakukan dengan cara sosialisasi adat istiadat/kebiasaan baik secara:
§  Langsung (secara lisan diberitahukan mengenai tradisi dan adat istiadat yang berlaku)
§  Tidak langsung (dengan memberi contoh dalam hal perilaku sehari-hari).
§  Selain disampaikan secara lisan, juga dilakukan melalui cerita atau dongeng (sebab dalam dongeng disisipkan pesan-pesan mengenai nilai-nilai atau sesuatu yang dipandang baik untuk dilakukan maupun mengenai sesuatu yang dipandang tidak boleh dilakukan.

b.   Masyarakat
Masyarakat merupakan sekelompok orang yang memiliki kesamaan budaya, wilayah identitas, dan berinteraksi dalam suatu hubungan sosial yang terstruktur.

Masyarakat mewariskan masa lalunya melalui: 
§  Tradisi dan adat istiadat (nilai, norma yang mengatur perilaku dan hubungan antar individu dalam kelompok).
Adat istiadat yang berkembang di suatu masyarakat harus dipatuhi oleh anggota masyarakat di daerah tersebut. Adat istiadat sebagai sarana mewariskan masa lalu terkadang yang disampaikan tidak sama persis dengan yang terjadi di masa lalu tetapi mengalami berbagai perubahan sesuai perkembangan zaman. Masa lalu sebagai dasar untuk terus dikembangkan dan diperbaharui.
§  Nasihat dari para leluhur, dilestarikan dengan cara menjaga nasihat tersebut melalui ingatan kolektif anggota masyarakat dan kemudian disampaikan secara lisan turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

2.1  Analisis Transmisi Teks
Proses transmisi yang akan dipaparkan adalah proses transmisi teks sastra atau cerita dari guru sebagai sumber pengetahuan dari generasi tua kepada murid-muridnya sebagai generasi muda atau generasi selanjutnya. Salah satu teks sastra yang akan ditransmisi adalah legenda. Legenda adalah prosa rakyat yang dianggap oleh yang punya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Legenda bersifat sekuler (keduniawian) terjadi pada masa yang belum begitu lampau dan bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang. Selain itu legenda juga ditokohi oleh manusia, meskipun ada kalanya mempunyai sifat luar biasa, dan seringkali dibantu mahkluk-mahkluk gaib.
Legenda sering dianggap sebagai “sejarah” kolektif (folk history). Meskipun dianggap sebagai sejarah tetapi kisahnya tidak tertulis maka legenda dapat mengalami distorsi sehingga seringkali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Untuk menjadikan legenda sebagai sumber sejarah maka harus menghilangkan bagian-bagian yang mengandung sifat-sifat folklor, seperti bersifat pralogis (tidak termasuk dalam logika) dan rumus-rumus tradisi. Legenda diwariskan secara turun temurun, biasanya berisi petuah atau petunjuk mengenai yang benar dan yang salah. Dalam legenda dimunculkan pula berbagai sifat dan karakter manusia dalam menjalani kehidupannya yaitu sifat yang baik dan yang buruk, sifat yang benar dan yang salah untuk selanjutnya dijadikan pedoman bagi generasi selanjutnya. Legenda yang diambil adalah Legenda Situ Bagendit.
Proses transmisi Legenda Situ Bagendit dilakukan oleh guru sebagai generasi sebelumnya kepada siswa sebagai generasi selanjutnya. Proses tersebut terjadi di dalam kelas dalam konteks pembelajaran.

Berikut Legenda Situ Bagendit.
Pada zaman dahulu kala disebelah utara kota Garut ada sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah petani. Karena tanah di desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air, maka sawah-sawah mereka selalu menghasilkan padi yang berlimpah ruah. Namun meski begitu, para penduduk di desa itu tetap miskin kekurangan.
Hari masih sedikit gelap dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk sudah bergegas menuju sawah mereka. Hari ini adalah hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya kepada seorang tengkulak bernama Nyai Endit.
Nyai Endit adalah orang terkaya di desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Ya! Seluruh petani. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual hasil panennya kepada Nyai Endit.Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng suruhan nyai Endit. Lalu jika pasokan padi mereka habis, mereka harus membeli dari nyai Endit dengan harga yang melambung tinggi.
“Wah kapan ya nasib kita berubah?” ujar seorang petani kepada temannya. “Tidak tahan saya hidup seperti ini. Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?”
“Sssst, jangan kenceng-kenceng atuh, nanti ada yang denger!” sahut temannya. “Kita mah harus sabar! Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka berbuat aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!”
Sementara itu Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya.
“Barja!” kata nyai Endit. “Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?” kata nyai Endit.
“Beres Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi! Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat lagi.”
“Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!” kata Nyai Endit.
Benar saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita kelaparan. Sementara Nyai Endit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di rumahnya.
“Aduh pak, persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke Nyai Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang lima kali lipat disbanding saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang kami pikul.”
Begitulah gerutuan para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.
Suatu siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh iba.
“Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.
Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.
“Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.
“Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi tersebut
“Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek
“Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyi Endit?”
“Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.
“Ah percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.
“Tidak perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
“Nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”
“Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik kalian,” kata si nenek.
Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Sementara itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit dan langsung dihadang oleh para centeng.
“Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak kakimu!” bentak centeng.
“Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.
“Apa peduliku,” bentak centeng. “Emangnya aku bapakmu? Kalau mau makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”
Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya. “Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Endiiiit…!” teriak si nenek.
Centeng- centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.
“Siapa sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang makan saja!”
“Hei…! Siapa kamu nenek tua?
Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?” bentak Nyai Endit.
“Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,” kata nenek.
“Lah..ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat nyium baumu,” kata Nyai Endit.
Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.
“Hei Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rijki berlimpah tapi kau tidak bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur-hamburkan makanan” teriak si nenek berapi-api. “Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”
“Ha ha ha … Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.
“Tidak perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.”
“Dasar nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai Endit sombong.
Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.
“Sialan!” kata Nyai Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!”
Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
“Ha ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”
Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.
“Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”
Setelah berkata demikian si nenek tiba-tiba menghilang entah kemana. Tinggal Nyai Endit yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta hartanya.
Di desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil yang indah. Orang menamakannya ‘Situ Bagendit’. Situ artinya danau dan Bagendit berasal dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.

Nilai-nilai yang terkandung dalam Legenda Situ Bagendit diantaranya adanya ajaran moral bahwa memberi kepada yang membutuhkan atau fakir miskin itu merupakan keniscayaan, perbuatan yang tidak baik akan dibalas dengan hukuman yang setimpal, bersyukur kepada tuhan YME atas nikmat yang diberikan agar terhindar dari sifat kikir, tamak, dan sombong.  
Legenda Situ Bagendit merupakan Legenda yang sangat unik. Banyak pesan moral yang dapat diambil dan dijadikan pelajaran hidup bagi generasi selanjutnya. Oleh karena itu, Legenda Situ Bagendit sering kali ditransmisikan baik di lingkungan sekolah maupun  di lingkungan keluarga.
Tujuan dari transmisi Legenda Situ Bagendit yaitu agar seorang anak dapat membentuk kepribadiannya secara positif dan menentang kekikiran Nyi Endit sehingga menyebabkan ia dan kekayaannya ditenggelamkan oleh air. Cerita legenda tersebut dahulu kerap diceritakan orang tua kepada anak-anaknya namun karena adanya pergeseran budaya maka saat ini cerita rakyat dan legenda lebih sering disampaikan di lingkungan sekolah. Legenda tersebut disampaikan untuk menjadi suri tauladan, agar anak-anak kelak menjadi orang yang selalu rendah hati dan mau berbagi kepada si miskin.
Selain itu, Legenda Situ Bagendit juga dapat mengasah imajinasi dan alat pembuka bagi cakrawala pemahaman seorang anak. Ia akan belajar pada pengalaman-pengalaman sang tokoh dalam Legenda tersebut, setelah itu memilah mana yang dapat dijadikan panutan olehnya sehingga membentuknya menjadi moralitas yang dipegang sampai dewasa. Karena itulah, peran pendongeng baik guru ataupun orang tua dalam menjelaskan atau merangkum seluruh kisah dalam cerita kepada anak-anak mesti menjadi seorang penjelas yang pasih. Sehingga seorang anak akan mengerti intisari dari cerita yang didongengkan tersebut.
Dalam perspektif pendidikan, proses transmisi Legenda Situ Bagendit dapat dilakukan dengan menggunakan metode berkisah dan metode tanya jawab. Metode berkisah digunakan untuk menyampaikan Legenda Situ Bagendit kepada siswa. Metode berkisah diberikan oleh bapak atau ibu guru di depan kelas. Secara lisan metode berkisah dapat disampaikan selama 10 sampai 15 menit untuk menarik perhatian siswa. Metode berkisah ini tidak sama dengan metode berceramah, kisah tidak semata-mata disampaikan monoton dengan narasi, tetapi perlu selingan dan dialog dan humor dengan suara yang berubah-ubah. Ibarat seorang dalang atau pemain drama monolog, seorang guru yang berkisah akan menarik perhatian siswa. Kemudian siswa dibimbing menyampaikan kembali Legenda Situ Bagendit selama 5 hingga 10 menit di depan kelas. Di sini siswa dilatih mengisahkan kembali cerita-cerita yang baru saja dibacanya dengan gaya penyampaian dan pemilihan kata-katanya sendiri.
Setelah dilakukan metode berkisah, guru dapat menggunakan metode tanya jawab. Artinya, pertanyaan baru dapat diajukan oleh seorang guru kepada siswanya setelah siswa itu menyimak dan memahami cerita tersebut. Pertanyaan dapat diajukan dari yang paling sederhana hingga yang paling kompleks. Perlu diperhatikan pula keadaan kelas dan tingkat kecerdasan siswa agar tanya jawab itu dapat berlangsung dengan lancar. Hal-hal yang dipertanyakan, misalnya sapa saja tokoh dalam cerita? Darimana asal usul tokoh itu? Bagaimana perwatakan setiap tokoh? Nilai moral yang terkandung dalam Legenda tersebut? Jawaban siswa atas pertanyaan yang satu dapat dikembangkan lebih lanjut dengan pertanyaan lain atau dilemparkan pada siswa lainnya. Apabila memungkinkan, siswa di minta untuk membuat pertanyaan dan siswa yang lainnya dapat memberikan jawaban.

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Setelah melakukan analisis dan pembahasan, sampailah penyusun pada bagian akhir penulisan ini, yaitu memberi kesimpulan. Simpulan akan dijelaskan pada gambaran mengenai proses tansimisi dalam Legenda Situ Bagendit yang dilakukan pendidik di dalam kelas. Penulisan ini telah mengkaji dan menganalisis teks sastra cerita rakyat Legenda Situ Bagendit. Teks tersebut dikaji dan dianalisis berdasarkan proses yang terjadi di kelas dengan melakukan proses transmisi untuk menyampaikan cerita tersebut kepada anak didik.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Legenda Situ Bagendit diantaranya adanya ajaran moral bahwa memberi kepada yang membutuhkan atau fakir miskin itu merupakan keniscayaan, perbuatan yang tidak baik akan dibalas dengan hukuman yang setimpal, bersyukur kepada Tuhan YME atas nikmat yang diberikan agar terhindar dari sifat kikir, tamak, dan sombong. 
 Legenda Situ Bagendit, tokoh yang ada dalam cerita ini sangat fenomenal sehingga tokoh ini akan dikenal oleh pembaca. Tokoh Nyi Endit merupakan seorang yang mempunyai harta melimpah tetapi dia mempunyai sifat kikir, tamak, dan sombong. Sehingga dengan sifat-sifatnya itu menyebabkan ia dan kekayaannya ditenggelamkan oleh air.
Selain itu, simpulan yang bisa ditarik adalah proses pembelajaran yang terjadi di kelas ketika seorang guru mentransmisi Legenda Situ Bagendit. Proses transmisi Legenda Situ Bagendit dilakukan dengan menggunakan metode berkisah dan metode tanya jawab. Metode berkisah digunakan untuk menyampaikan Legenda Situ Bagendit kepada siswa. Metode berkisah diberikan oleh bapak atau ibu guru di depan kelas. Secara lisan metode berkisah dapat disampaikan selama 10 sampai 15 menit untuk menarik perhatian siswa.
Setelah itu siswa diminta untuk menerangkan kembali cerita tersebut dengan menggunakan kata-kata sendiri. Selain itu, pendidik menggunakan metode tanya jawab agar guru dapat mengetahui pemahaman, sampai mana anak memahami suatu cerita dengan metode berkisah. Maka, proses pembelajaran ini dapat dilakukan di sekolah oleh para pendidik, agar proses pembelajaran di sekolah jadi lebih kreatif dan inovatif.  Maka, pembelajaran sastra dengan menggunakan metode berkisah dan tanya jawab bisa membuat siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran.

3.2    Saran
            Seharusnya cerita rakyat yang mengandung nilai-nilai moral lebih dijadikan bahan pembelajaran untuk siswa agar siswa dapat membentuk kepribadian sejak dini dengan baik, hal ini dilakukan untuk melestarikan kebudayaan leluhur.


DAFTAR PUSTAKA

Austin Waren, & Rene Wellek. 1989. Teori Kesusastraan. (Editor Melani Budianta) Jakarta: Gramedia.
Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga). Jakarta : Balai Pustaka.
Supinah, Pien, Dra. 1993. Pendekatan Teori Sejarah dan Apresiasi Sastra Indonesia. Bandung : CV Pionir Jaya.
www.dongengkakrico.com/index.php.

Sabtu, 19 Maret 2011

KEDWIBAHASAAN DI KECAMATAN LABUAN

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Provinsi Banten memiliki luas wilayah 9.160,70 km², luas wilayah tersebut terbagi kepada empat kabupaten dua kotamadya. Masing-masing kabupaten tersebut adalah Kabupaten Serang sebagai ibukota Provinsi Banten, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Tanggerang, dan Kabupaten Lebak. Sedangkan dua Kotamadya adalah Kotamadya Cilegon dan Kotamadya Tanggerang.
Salah satu Kabupaten yang terkenal dari provinsi Banten adalah Kabupaten Pandeglang dengan ibukota bernama sama yakni Pandeglang. Luas wilayah Kabupaten Pandeglang 2.747 km² dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Serang di sebelah Utara dan Kabupaten Lebak di sebelah Timur.
Kabupaten Pandeglang merupakan satu dari wilayah provinsi Banten yang sarat dengan tujuan Objek Wisata. Di Kabupaten ini banyak terdapat pulau-pulau kecil seperti Pulau Deli, Pulau Tinjil, sementara objek wisata yang paling terkenal di daerah ini adalah Taman Nasional Ujung Kulon yang merupakan suaka marga satwa bagi Badak Bercula Satu yang kini hampir punah, Taman Wisata Alam Carita, dan beberapa pantai seperti Pantai Carita, Pantai Tanjung Lesung juga terkenal dengan air terjunnya yang jernih yakni Air Terjun Curug Gendang.
Dua kota yang menjadi pusat perekonomian Kabupaten Pandeglang yaitu kota Pandeglang dan kota Labuan. Kota tersebut menjadi tujuan utama para pendatang untuk berniaga. Dari kegiatan berniaga inilah menimbulkan kontak bahasa antara pendatang dan penduduk asli sehingga terjadi peristiwa-peristiwa kebahasaan, salah satunya yaitu kedwibahasaan. Oleh karena itu penyusun memilih Kecamatan Labuan sebagai objek penelitian mengenai kedwibahasaan pada masyarakat Labuan.

1.2  Permasalahan
Permasalahan yang akan dibahas dalam laporan penelitian ini adalah sebagai berikut.
(1) bagaimana situasi kebahasaan masyarakat Labuan?
      (2) bagaimana faktor sosial budaya menentukan pemilihan bahasa dalam berbagai peristiwa tutur pada masyarakat Labuan?

1.3  Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut
(1)   mengetahui situasi kebahasaan masyarakat Labuan,
(2)   mengetahui faktor-faktor sosial budaya yang menentukan pemilihan bahasa dalam berbagai peristiwa tutur pada masyarakat Labuan.

1.4  Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah observasi dan studi pustaka. Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan penyajian hasil analisis data.


BAB 2
LANDASAN TEORI


2.1  Arti Kedwibahasaan
Istilah bilingualisme berasal dari bahasa Inggris yaitu bilingualism, dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dari istilahnya secara harfiah sudah dapat dipahami apa yang dimaksud dengan bilingualisme itu, yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum kedwibahasaan diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannnya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962:12, Fishman 1975:73 dalam Chaer 2004:84).
 Sementara itu pengertian kedwibahasan menurut para ahli yaitu:
1.      Robert Lado (1964-214)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan berbicara dua bahasa dengan sama atau hampir sama baiknya. Secara teknis pendapat ini mengacu pada pengetahuan dua bahasa, bagaimana tingkatnya oleh seseorang.
2.      Mackey (1956:155)
Kedwibahasaan adalah pemakaian yang bergantian dari dua bahasa. Merumuskan kedwibahasaan sebagai kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih oleh seseorang (the alternative use of two or more languages by the same individual). Perluasan pendapat ini dikemukakan dengan adanya tingkatan kedwibahasaan dilihat dari segi penguasaan unsur gramatikal, leksikal, semantik, dan gaya yang tercermin dalam empat keterampilan berbahasa, yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis.
3.      Hartman dan Stork (1972:27)
Kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran.
4.      Haugen (1968:10)
Kedwibahasaan adalah tahu dua bahasa. Jika diuraikan secara lebih umum maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau oleh masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaan dengan tahu dua bahasa (knowledge of two languages), cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.
5.      Oksaar
Berpendapat bahwa kedwibahasaan bukan hanya milik individu, namun harus diperlakukan sebagai milik kelompok, sehingga memungkinkan adanya masyarakat dwibahasawan. Hal ini terlihat di Belgia menetapkan bahasa Belanda dan Perancis sebagai bahasa negara, Finlandia dengan bahasa Find dan bahasa Swedia. Di Montreal Kanada, bahasa Inggris dan Perancis dipakai secara bergantian oleh warganya, sehingga warga montreal dianggap sebagai masyarakat dwibahasawan murni.
6.      Bloomfield (1958:56)
Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur. Merumuskan kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama baiknya atas dua bahasa atau native like control of two languages. Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.

Kalau kita perhatikan pengertian kedwibahasaan di atas, kita akan melihat adanya perbedaan antara yang diberikan oleh Bloomfield dan oleh yang lainnya. Kedwibahasaan dibatasi oleh Bloomfield sebagai penggunaan dua bahasa yang sama baiknya antara bahasa ibu (asli) dan bahasa kedua. Dengan demikian, pengertian kedwibahasaan semacam ini menyaran pada kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penggunaan bahasa oleh penutur asli dari setiap bahasa itu.

2.2 Pembagian Kedwibahasaan
Adapun beberapa jenis pembagian kedwibahasaan berdasarkan tipologi kedwibahasaan, yaitu :
1.      Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa kemampuan berbahasa salah satu bahasa lebih baik dari pada kemampuan berbahasa bahasa yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan. Kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri.
2.   Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar.
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa pemakaian dua bahasa sama-sama baik oleh seorang individu. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
3.   Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan yang menunjukkan bahwa seorang individu pada saat memakai B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1. Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilangan B1-nya.
Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi kdwibahasaan diantaranya adalah:
·         Baeten Beardsmore (1985:22)
Menambahkan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2.
·         Menurut Pohl (dalam Baetens Beardmore, 1985;5)
Tipologi bahasa lebih didasarkan pada status bahasa yang ada di dalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga tipe yaitu:
a.       Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)
Merupakan situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
b.                  Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism)
Merupakan pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
c.       Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)
Merupakan pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
·         Menurut Arsenan (dalam Baerdsmore, 1985)
Tipe kedwibahasaan pada kemampuan berbahasa, maka ia mengklasifikasikan kedwibahasaan menjadi dua yaitu:
Ø  kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa oleh seorang individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis),
Ø  kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism).

2.3 Dwibahasawan
Sama halnya dengan kedwibahasaan, konsep dwibahasawan juga mengalami perluasan. Weienriech memberikan batasan dwibahasawan sebagai orang yang terlibat dalam praktek penggunaan dua bahasa secara bergantian (1968:1). Kalau dikatakan bahwa bahasa-bahasa disebut dalam kontak bila bahasa-bahasa itu digunakan oleh dwibahasawan secara bergantian, maka sebenarnya kurang memadai pengertiannya. Hal ini karena, menurut Haugen, bahasa-bahasa itu tidak harus digunakan secara nyata oleh dwibahasawan melainkan hanya cukup diketahui saja. Namun demikian, dia menyarankan bahwa dwibahasawan yang ideal adalah seseorang yang mengetahui lebih dari satu bahasa yang mampu menginternalisasikan atau membiasakan pola-pola produktif (aturan tata bahasa) dan unsur leksikal dari dua speech communities (Fishman, ed., 1972:20).
Dwibahasawan lebih jauh dibatasi sebagai orang yang memiliki kemampuan bahasa yang berbeda-beda (Fishman, ed., 1972:555). Hal ini didukung oleh pernyataan Haugen bahwa dwibahasawan itu bukanlah ekabahasawan atau monolingual walaupun tidak ditetapkan seberapa jauh seseorang itu memerlukan pengetahuan bahasa kedua sebelum disebut dwibahasawan. Kemudian, dia menyarankan bahwa kemampuan menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa kedua harus menjadi syarat terendah, atau paling tidak, memahami kalimat-kalimat bahasa kedua itu. Istilah kedwibahasawan menyaran juga pada orang yang mengetahui lebih dari satu bahasa, yang biasa dikenal dengan istilah multibahasawan atau ploligot (Fishman, ed., 1978:4).
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa konsep kedwibahasaan telah mengalami perluasan. Hal ini terlihat pada pernyataan Mackey, bahwa kedwibahasaan itu melibatkan tingkatan. Tingkatan dimaksudkan untuk membedakan kemampuan seseorang dalam penguasaannya terhadap bahasa kedua. Tingkatan kemampuan itu dapat dilihat pada penguasaan dwibahasawan dalam hal fonologi, tata bahasa (grammar), segi leksikal, semantik dan gaya bahasa (stylistic) yang terlihat dalam empat keterampilan (skill) bahasa, yaitu: menyimak (listening), membaca (reading), berbicara (speaking), dan menulis (writing) (Fishman, ed., 1972:556-557). Pengertian kemampuan berbahasa itu juga mengacu pada kemampuan aktif dan pasif. Ini berarti bahwa dwibahasawan tidak harus menguasai bahasa keduanya secara aktif, tetapi dapat juga secara pasif. Seseorang yang memiliki ‘kemampuan pasif bahasa tulis’ dalam bahasa kedua dapat juga disebut dwibahasawan (Fishman, ed., 1972:555).


BAB 3
PEMBAHASAN

Pada mulanya Provinsi Banten merupakan daerah karesidenan dari provinsi Jawa Barat yang beribukota Kota Bandung. Karena pemekaran dan atas UU No.23 Banten telah resmi menjadi provinsi baru di Indonesia yakni provinsi ke-30 pada tanggal 18 November 2000 dengan ibukota Kota Serang.
Kabupaten Banten memiliki daerah berdataran tinggi, rendah, daerah pantai serta daerah rawa-rawa. Mayoritas penduduk Banten beragama Islam meskipun berbeda-beda suku di antaranya ada Suku Banten, Suku Sunda, Suku Betawi, dan Suku Baduy dan bahasa yang digunakan di antaranya adalah bahasa Sunda-Banten dan bahasa Jawa-Banten adapun Suku Betawi menggunakan bahasa Melayu dengan dialek khas Suku Betawi.
Penduduk asli yang hidup di Provinsi Banten berbicara menggunakan dialek yang merupakan turunan dari bahasa Sunda Kuno. Dialek tersebut dikelompokkan sebagai bahasa kasar dalam bahasa Sunda modern, yang memiliki beberapa tingkatan dari tingkat halus sampai tingkat kasar (informal), yang pertama tercipta pada masa Kesultanan Mataram menguasai Priangan (bagian tenggara Provinsi Jawa Barat). Namun demikian, di Wilayah Banten Selatan Seperti Lebak dan Pandeglang menggunakan Bahasa Sunda Campuran Sunda Kuno, Sunda Modern dan Bahasa Indonesia, di Serang dan Cilegon, bahasa Jawa Banten digunakan oleh etnik Jawa dan, di bagian utara Kota Tangerang, bahasa Indonesia dengan dialek Betawi juga digunakan oleh pendatang beretnis Betawi. Di samping bahasa Sunda, bahasa Jawa dan dialek Betawi, bahasa Indonesia juga digunakan terutama oleh pendatang dari bagian lain Indonesia.
Labuan adalah satu kecamatan di kabupaten Pandeglang, provinsi banten. Kecamatan Labuan dikenal dengan perikanannya. Labuan ditetapkan sebagai sentral perikanan laut di pesisir barat Banten. Sarana penunjang untuk kegiatan perikanan diantaranya zona pelabuhan yang terdiri dari dermaga, tempat pelelangan ikan, depot es, SPBU, dan lain-lain. Dalam laporan ini kami lebih menitikberatkan permasalahan mengenai kedwibahasaan masyarakat Labuan. Untuk lebih jelasnya berikut uraian mengenai situasi kebahasaan masyarakat Labuan dan faktor sosial budaya yang mempengaruhi kedwibahasaan di kecamatan Labuan.
Bahasa Sunda yang berada di Kecamatan Labuan memiliki beberapa perbedaan dengan yang berada di daerah Priangan (Garut, Tasikmalaya, Bandung, dll). Mulai dari dialek pengucapannya, sampai beberapa perbedaan pada kata-katanya. Bahasa sunda di Banten juga umumnya tidak mengenal tingkatan, Bahasa sunda tersebut masih terlihat memiliki hubungan erat dengan bahasa Sunda Kuno Namun oleh mayoritas orang-orang yang berbahasa Sunda yang memiliki tingkatan, Bahasa Sunda Banten digolongkan sebagai Bahasa Sunda kasar. Pengucapan bahasa Sunda di Banten umumnya berada di daerah Selatan Banten (Kabupaten Lebak, Kab. Pandeglang). Berikut beberapa contoh perbedaannya :
Bahasa Indonesia
Bahasa Sunda
(Banten)
Bahasa Sunda
(Priangan)
Sangat
jasa
Pisan
Dia
nyana
Enjeuna
Susah
gati
Hese
Seperti
doang
Siga
Tidak
tilok
Henteu
Melihat
noong
Ningali
Makan
hakan
tuang / dahar
Kenapa
pan
Naha
Singkong
dangdeur
Sampeu
tidak mau
embung/endung
Alim
Belakang
buri
Tukang
Repot
haliwu
Rebut
Baju
Jamang
Acuk
Teman
Orok
Batur

Wilayah Kecamatan Labuan, umumnya menggunakan bahasa campuran (multibilingual) antara bahasa Sunda dan Jawa. Untuk mengetahui peristiwa kedwibahasaan di desa Teluk kecamatan Labuan kami mewawancarai beberapa penduduk sekitar dari mulai buruh, pedagang, pegawai dinas perhubungan, dan anak-anak. Pertama kami mewawancarai seorang buruh yang bernama Bapak Dahlan. Beliau berasal dari daerah Serang dan sudah lebih dari 20 tahun tinggal di desa teluk kecamatan Labuan karena mengikuti istrinya yang berasal dari daerah tersebut. Awalnya beliau sulit berkomunikasi dengan penduduk sekitar. Kesulitan tersebut dikarenakan adanya perbedaan bahasa yang digunakan di daerah asalnya dengan bahasa di tempat tinggalnya sekarang.
Ketika beliau tinggal di Serang, bahasa yang digunakan adalah bahasa sunda, namun ketika tinggal di desa teluk kecamatan Labuan, bahasa yang dominan digunakan adalah bahasa campuran sunda dan jawa. Penggabungan bahasa tersebut mengandung makna yang berbeda dengan makna aslinya atau dalam arti “sunda bukan, jawa juga bukan” menurut pak Dahlan. Salah satu contoh kata yang menarik untuk diamati dari ucapan pak Dahlan, beliau mengatakan kata “inyong” kata tersebut tidak ada dalam bahasa sunda. Menurut perkiraan beliau kata tersebut merupakan bahasa jawa yang berarti “kita”. Padahal sebenarnya dalam bahasa jawa tidak ada kata “inyong” tetapi ”enyong” yang berarti “saya”. Setelah diamati ternyata kata “enyong” dalam bahasa jawa asli merupakan bahasa jawa yang kasar. Setelah lama tinggal di Labuan pak Dahlan akhirnya dapat menguasai bahasa yang digunakan masyarakat setempat.
Kedua kami mewawancarai  dua orang pegawai dinas perhubungan yang bernama N.Antoni dan Madiyono. Mereka merupakan pendatang di sana, N.Antoni berasal dari Lampung sedangkan Madiyono berasal dari Semarang. N.Antoni sudah dua tahun bertugas di desa Teluk dan ia mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan penduduk sekitar. Meskipun bahasa yang digunakan di Lampung adalah bahasa jawa namun tetap saja ia merasa kebingungan karena bahasa jawa di desa teluk terdengar berbeda. Hal ini disebabkan karena banyaknya pendatang yang masuk ke desa Teluk. Oleh karena itu N.Antoni menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dalam kesehariannya. Selain N.Antoni, Madiyono pun mengalami banyak kesulitan dalam berkomunikasi apalagi  ia baru tiga bulan bertugas di sana. Berikut  ucapan yang dicontohkan oleh mereka mengenai bahasa di desa teluk:
N.Antoni         : teu nyaho aing!
                          Saya tidak tahu!
Madiyono        : aing mau dahar!
                          Saya ingin makan!
Tuturan pertama (N.Antoni) di atas merupakan bahasa sunda kasar dan dianggap tidak sopan apabila diucapkan di daerah priangan, akan tetapi di desa Teluk tuturan tersebut dianggap biasa saja dan digunakan sebagai bahasa sehari-hari. Tuturan kedua (Madiyono) merupakan campuran bahasa Indonesia (mau), sunda (aing, dahar). Menurut Madiyono yang berasal dari Semarang kata “dahar” merupakan bahasa jawa yang halus padahal dalam bahasa sunda kata “dahar” tidak pantas diucapkan karena bahasa yang kasar. Berdasarkan pembagian kedwibahasaan peristiwa yang terjadi pada N. Antoni merupakan kedwibahasaan majemuk, sedangkan pada Madiyono merupakan kedwibahasaan kompleks.
Kedwibahasaan yang terjadi pada masyarakat Labuan disebabkan oleh  banyaknya pendatang baru yang masuk ke daerah Labuan, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Enok, seorang pedagang kue balok yang sudah sekitar tujuh tahun menjajakan dagangannya di desa teluk kecamatan Labuan. Beliau bukan penduduk asli desa Teluk dan beliau pun mengatakan bahwa sudah hampir seluruh penduduk di desa Teluk merupakan para pendatang yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Bahkan, di sana terdapat beberapa bahasa melayu karena ada pendatang yang berasal dari daerah Bugis.
Pada wawancara terakhir, kami mencoba untuk bertanya kepada anak-anak yang tinggal di daerah desa Teluk tersebut. Pada umumnya, mereka mengaku bahwa mereka menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa sehari-harinya, tetapi apabila di sekolah, mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena bahasa sunda yang lebih dominan digunakan ketika berkomunikasi di lingkungan sekitar rumah dan lingkungan bermain. Tetapi di sekolah, mereka diharuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional.
Penelitian yang kami lakukan kemudian berlanjut ke daerah sekitar Pantai Carita. Kami tidak melakukan wawancara di sana, tetapi kami hanya mengamati bahasa yang mereka gunakan ketika sedang melakukan transaksi jual-beli. Kami mendengar dialek yang mereka gunakan adalah dialek Jawa. Tetapi ada juga yang menggunakan dialek Jawa Cirebon. Selain itu kami menemukan peristiwa kedwibahasaan kompleks karena mereka sering mencampuradukan bahasa yang mereka gunakan. Contohnya yaitu:
Penjual baju 1 : ada berapa baju ?
Penjual baju 2 : (sambil menghitung) ……, enam belas,  pitulas
                                                            ……., enam belas, tujuh belas
Pada kutipan percakapan di atas, penjual baju 2 mencampurkan dua bahasa, yaitu Bahasa Indonesia (enam belas) dan Bahasa Jawa (pitulas). Sehingga penjual baju tersebut mengalami peristiwa kedwibahasaan kompleks


BAB 3
PENUTUP

Setelah melakukan penelitian dan pembahasan, sampailah penyusun pada bagian akhir penulisan ini, yaitu memberi kesimpulan. Simpulan akan dijelaskan pada gambaran situasi kebahasaan masyarakat Labuan dan penjelasan mengenai faktor sosial budaya  yang mempengaruhi kedwibahasaan di kecamatan Labuan.
Simpulan pertama tentang situasi kedwibahasaan masyarakat Labuan terlihat pada bahasa yang mereka gunakan yaitu bahasa Indonesia, sunda, jawa, dan bugis. Bahasa yang digunakan masyarakat Labuan mayoritas bahasa sunda, karena mayoritas masyarakat di sana penduduk asli Labuan. Bahasa sunda di Banten juga umumnya tidak mengenal tingkatan, Bahasa sunda tersebut masih terlihat memiliki hubungan erat dengan bahasa Sunda Kuno. Namun oleh mayoritas orang-orang yang berbahasa Sunda yang memiliki tingkatan, Bahasa Sunda Banten digolongkan sebagai Bahasa Sunda kasar. Sedangkan bahasa Indonesia, jawa, dan bugis digunakan oleh pendatang baru.
Dalam penelitian ini, penyusun menyimpulkan bahwa di Kabupaten Labuan, masyarakatnya menggunakan bahasa campuran (multibilingual) antara bahasa Sunda dan Jawa. Adapula yang menggunakan campuran antara bahasa Indonesia dan jawa. Selain di desa Teluk, penyusun menggunakan penelitian di pantai Carita. Bahasa yang digunakan mayoritas adalah bahasa jawa, jika ada yang menggunkan bahasa sunda, yang digunakan adalah bahasa sunda kasar. Dari bahasa yang digunakan berbeda, dialek yang digunakan pun berbeda juga. Seperti, sebagian masyarakat yang menggunakan dialek Jawa Cirebon. 
Selanjutnya simpulan yang kedua tentang faktor sosial dan budaya kedwibahasaan yang terjadi pada masyarakat Labuan. Faktor tersebut disebabkan oleh  banyaknya pendatang baru yang masuk ke daerah Labuan. Dilihat dari faktor sosial, adanya kontak bahasa yang dilakukan dengan masyarakat sekitar dengan pendatang baru. Kemudian faktor budaya, terlihat dari kebiasaan masyarakat dalam berkomunikasi menggunakan bahasa campuran sunda dan jawa. Maka, dari dua faktor di atas dapat disimpulkan bahwa di Kabupaten Labuan terdapat kedwibahasaan.